Rabu, Februari 09, 2011

cat hitam berjari enam by djenar maesa ayu

Di kepalanya ada setan. Yang dengan tiba-tiba menggerakkan tangan. Membuatnya meraih cat minyak warna hitam. Lalu ke atas kanvas dia torehkan. Tapi mendadak dia terpaku diam. Bingung. Bertanya dalam hati, apakah benar bahwa tidak ada aturan dan segalanya dibolehkan? Tangannya semakin bergerak di atas kanvas. Menyalurkan apa yang tersirat dari benak. Dia gerakkan tangannya dengan kasar sampai kanvas terdorong jatuh ke lantai. Dia injak kanvas yang sudah menyerah di lantai tanpa perlawanan itu, dan dengan kuas ukuran besar diputar-putarnya cat hitam sampai hampir keseluruhan bidang putih tertutup. Hitam! Hanya warna itu yang ingin dia lihat. Namun kemudian dia mundur teratur ketika dilihatnya yang tersisa dari bidang kanvas putih itu berbentuk gambar serupa bulan sabit. Inikah setan yang sedang memengaruhinya? Dia merasa geraknya yang bebas berubah menjadi terbatas. Justru ketika sebuah bulan sabit muncul dari hitam yang semula putih. Bulan sabit itu merintih. Melagukan luka. Walaupun bukan merah darah warnanya, luka bagaimanapun adalah luka yang mungkin tidak bisa sembuh selamanya. Luka, karena apa yang selama ini diajarkan dan dianggapnya benar ternyata salah. Seketika dia kehilangan kendali atas alam pikiran dan jiwanya sendiri, karena bulan sabit putih yang menempel di kanvas itu mengingatkan pada kesalahannya. Semula dia hanya ingin menyiksa kanvas putih itu dengan warna hitam saja. Menginjak-nginjak supaya hitam itu pecah berberai tak lagi menyatu seperti luka yang masih bertahan dalam hatinya. Jika pada akhirnya yang tercipta justru gambar bulan sabit, berwarna putih pula, dia sama sekali tidak menyangkanya. Kenapa yang muncul justru harus salah satu lambang monoteisme yang selama ini dia anggap hanya membodohi manusia? Tidak terima, dia ambil cat putih dan dengan keyakinan tinggi dan hanya dengan satu putaran dia lengkapi bulan sabit tersebut menjadi sebuah lingkaran putih yang sempurna. Dia diam sejenak dan merasa ada sesuatu yang masih salah, dengan kanvasnya, dengan dirinya, dengan semuanya. Lingkaran putih di depannya itu menatap beku. Persis seperti tatapan mata orang-orang dalam kenangannya dulu. Tidak ada bola hitam di kedua mata mereka kala itu. Hampir menyerupai setan yang sering dia lihat di layar televisi. Membuat bulu kuduknya pun mau tak mau berdiri. Masih jelas benar mata-mata tanpa bola mata hitam itu merusak tempat ibadah. Memukuli anak-anak dan ibu-ibu yang tengah memasak di rumah. Merubuhkan patung-patung. Membakar kampung. Termasuk kampungnya juga. Dia ingat betul kampungnya yang sudah tiada itu. Juga ingat rumahnya yang sudah hangus dan hanya menyisakan abu. Masih teringat betul juga mayat-mayat yang hanya tinggal nama. Dikorbankan sia-sia dengan mengatas-namakan sang pencipta. Suara api pun masih terdengar begitu dekat di telinga gemeretaknya. Meredam suara jerit tangis ibu-ibu dan kanak-kanak di antara rasa panik dengan pasrah. Sementara hampir di setiap pekarangan, jasad para ayah sudah terbaring di atas tanah yang bersimbah darah ketika asap hitam tebal mulai membumbung tinggi dari setiap rumah. Dia menuju rumahnya yang tinggal puing dan abu. Dia cari-cari ayah dan ibunya tapi sia-sia. Hampir menyerah, dia melihat sesuatu. Dan ketika dia hampiri ternyata sepotong kaki. Lemas dia ketika melihat ciri-ciri di sepotong kaki tersebut yang hanya ayahnya miliki. Kaki kirinya memiliki enam jari. Dia tidak tahu apakah harus merasa bersyukur atau menyesal karena belum mati. Untuk apa hidup jika hanya untuk memelihara luka yang dari hari ke hari semakin infeksi. Dia ingat bahwa perasaan itulah yang membuatnya jadi pelukis. Untuk menyampaikan kenyataan. Tapi tidak jarang juga sebagai sarana untuk menghapus kenangan. Kenangan tentang bermain kelereng dan mengejar layang-layang. Menyusuri pematang sawah demi mengantar masakan ibu untuk ayah ketika hari menjelang siang. Atau kelakar di bawah sinar rembulan sambil nonton wayang. Segala bola pikiran yang kini terpaksa harus dengan sekuat tenaga dia tendang. Dia menatap kembali lingkaran putih yang sempurna di atas kanvas. Rahangnya pun mengeras. Diraihnya kuas yang lebih besar dan dicelupkannya ke cat hitam. Dipulasnya lingkaran putih yang sudah sempurna itu dengan geram. Kini kanvas itu sudah benar-benar hitam legam. Dengan penuh kepuasan, dia lepas kuas yang digenggam. Dan betapa kagetnya dia ketika melihat ke telapak tangan yang sudah dipenuhi bercak hitam. Bercak hitam itu menyisakan gambar bulan sabit berwarna kulit, seperti sedang bergantung di awan kelam. Dengan tergesa dia mengambil jarum suntik di atas meja dengan tangan kirinya yang berjari enam, lalu memasukkan cat hitam ke dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar